Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, respon pandangan sejumlah negara dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang mengkritik Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR RI beberapa hari yang lalu. Arsul pun bercerita saat kunjungan ke Australia. Di sana, Arsul menerima banyak pertanyaan dari sejumlah orang, termasuk para diaspora soal KUHP yang baru.
"Yang mereka terima itu informasinya itu informasi yang boleh dibilang agak misleeding lah bisa dikatakan," kata Arsul kepada wartawan, Senin (12/12/2022). Dia kemudian mencontohkan soal pasal perzinahan yang tertulis di Pasal 411. Menurutnya, tidak pernah dijelaskan nilai aduannya.
"Yang digambarkan pasal satunya, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang lain diluar perkawinan dipidana sekian tahun, kan cuma itu saja. Tidak dibaca, ayat 2 dan 3 nya kan tidak dibaca," kata dia. Arsul lalu bicara soal isu aborsi yang tertera di Pasal 466 dan 467. Menurutnya, rumusan soal itu tak dibaca secara keseluruhan.
"Soal kontrasepsi tidak dibaca juga ayat pengecualiannya, padahal itu dulu kan memang tidak kentara pengecualiannya. Tapi sekarang karena ada masukan dan ada protes dari masyarakat, kita akomodasi ya, bahwa tidak akan dipidana jika itu tenaga kesehatan, penyuluh keluarga berencana dan sebagainya," ujar Waketum PPP itu. Selain itu, Arsul juga bicara soal pasal di KUHP yang disebut mengancam kebebasan pers. Dia menilai Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers tetap berlaku.
"Itu tetap berlaku meskipun maaf ya KUHP, tapi itu berlaku khusus sama seperti UU Tipikor, itu kan enggak dihapus dengan RKUHP. Tetapi kalau yang diminta, ini kan yang diminta termasuk oleh teman teman Dewan Pers," kata dia. "Dalam hal apa pun, teman jurnalis tidak bisa diimplikasikan dalam perkara pidana memang tidak bisa, karena dalam hukum pidana ada yang namanya konsep penyertaan, bahwa yang melakukan tindak pidana itu kan yang hanya pelaku saja, ada yang turut serta melakukan, ada yang membantu melakukan, dan sebagainya," ujar Arsul. Karena itulah, menurutnya, UU KUHP jiga harus dibaca bersamaan dengan undah undang lainnya juga, termasuk UU Pers.
Sebelumnya, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Indonesia menilai Kitab Undang undang Hukum Pidana (KUHP) yang direvisi tidak sesuai dengan kebebasan dasar hak asasi manusia dan hak atas kesetaraan. Dalam pernyataan resminya, Selasa (8/12/2022), PBB menegaskan pentingnya tentang perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas privasi serta hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan berpendapat dan berekspresi. “PBB khawatir beberapa pasal dalam KUHP yang direvisi bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan hak asasi manusia (HAM),” tulis PBB di situs mereka.
Menueut PBB, beberapa pasal dalam KUHP baru juga berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers. “Berisiko mendiskriminasi perempuan, anak perempuan, anak laki laki dan minoritas seksual dan akan berisiko mempengaruhi berbagai hak kesehatan seksual dan reproduksi, hak privasi, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender,” lanjut pernyataan PBB. Selain itu KUHP baru dinilai berisiko melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan dapat melegitimasi sikap sosial yang negatif terhadap penganut agama atau kepercayaan minoritas.
Hal ini, menurut PBB, dikhawatirkan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka. Tanpa menyebut pasal, PBB menyerukan kepada otoritas eksekutif dan legislatif agar menghasilkan hukum hak asasi manusia internasional Indonesia sesuai dengan Agenda 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). “Kami mendorong pemerintah untuk tetap terlibat dalam dialog konsultatif terbuka dengan masyarakat sipil yang lebih luas dan pemangku kepentingan untuk menangani keluhan dan memastikan bahwa proses reformasi sejalan dengan komitmen global Indonesia dan juga TPB,” seru PBB di Indonesia.
PBB siap untuk berbagi keahlian teknisnya dan membantu Indonesia dalam upayanya untuk memperkuat kerangka legislatif dan kelembagaannya, menjamin semua individu di negara ini untuk menikmati semua hak yang diatur dalam konvensi dan perjanjian internasional yang diikuti oleh Indonesia. DPR RI dan pemerintah mengesahkan RUU KUHP menjadi undang undang dalam rapat paripurna yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta. Beleid hukum pidana terbaru itu akan menggantikan KUHP yang merupakan warisan kolonialisme Belanda di Indonesia.
"Kami menanyakan kembali kepada seluruh peserta sidang apakah Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang undang?" tanya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pimpinan rapat paripurna. "Setuju!' jawab peserta pada Selasa (6/12/2022). KUHP terbaru itu diserahkan ke pemerintah untuk diteken Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan diberi nomor untuk masuk ke dalam lembar negara.
Paripurna untuk pengesahan KUHP terus tertunda sejak mendekati akhir masa bakti DPR periode 2014 2019 karena banyaknya gelombang aksi penolakan pasal yang dinilai publik bermasalah atau kontroversial. Beberapa pasal kontroversial di antaranya pasal 98 yang mengatur pidana atau hukuman mati. Dalam KUHP baru, pidana mati diancamkan secara alternatif.
Adapun bunyi Pasal 98 yaitu menjelaskan pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup. Kemudian dalam pasal 277, seseorang terancam denda maksimal Rp10 juta (kategori II) jika berjalan atau berkendara di atas tanah pembenihan. Bunyi Pasal 277 menjelaskan larangan masuk berjalan atau berkendara bagi seseorang yang tidak memiliki hak di atas tanah oleh pemiliknya.
Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan berkendaraan, misalnya menggunakan sepeda, sepeda motor, atau sarana angkutan lainnya.